ADMINISTRASI
NAMA-NAMA
KELOMPOK 2
1. Agustina
Lida Widu
2. Yusnita
Boba Lapi
3. Dewi
Karni Raya
- Indriani R. P. Joru
1. Faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku pemimpin?
Seperti yang telah kita
ketahui Kepemimpinan adalah kemampuan yang sanggup meyakinkan orang lain supaya
bekerjasama dibawah pimpinannya sebagai suatu tim untuk mencapai tujuan
tertentu. namun ada beberapa faktor-faktor penting yang mempengaruhi
kepemimpinan tersebut, diantaranya adalah :
a. Faktor Kemampuan Personal
Pengertian kemampuan
personal adalah kombinasi antara potensi sejak pemimpin dilahirkan ke dunia
sebagai manusia dan faktor pendidikan yang ia dapatkan. Jika seseorang lahir
dengan kemampuan dasar kepemimpinan, ia akan lebih hebat jika mendapatkan
perlakuan edukatif dari lingkungan, jika tidak, ia hanya akan menjadi pemimpin
yang biasa dan standar. Sebaliknya jika manusia lahir tidak dengan potensi
kepemimpinan namun mendapatkan perlakuan edukatif dari lingkunganya akan
menjadi pemimpin dengan kemampuan yang standar pula. Dengan demikian antara potensi
bawaan dan perlakuan edukatif lingkungan adalah dua hal tidak terpisahkan yang
sangat menentukan hebatnya seorang pemimpin.
b. Faktor
Jabatan
Pengertian jabatan
adalah struktur kekuasaan yang pemimpin duduki. Jabatan tidak dapat dihindari
terlebih dalam kehidupan modern saat ini, semuanya seakan terstrukturifikasi.
Dua orang mempunyai kemampuan kepemimpinan yang sama tetapi satu mempunyai
jabatan dan yang lain tidak maka akan kalah pengaruh. sama-sama mempunyai
jabatan tetapi tingkatannya tidak sama maka akan mempunya pengarauh yang
berbeda.
c. Faktor Situasi dan Kondisi
Pengertian
situasi adalah kondisi yang melingkupi perilaku kepemimpinan. Disaat situasi
tidak menentu dan kacau akan lebih efektif jika hadir seorang pemimpin yang
karismatik. Jika kebutuhan organisasi adalah sulit untuk maju karena anggota
organisasi yang tidak berkepribadian progresif maka perlu pemimpin
transformasional. Jika identitas yang akan dicitrakan oragnisasi adalah religius
maka kehadiran pemimpin yang mempunyai kemampuan kepemimpinan spritual adalah
hal yang sangat signifikan. Begitulah situasi berbicara, ia juga memilah dan
memilih kemampuan para pemimpin, apakah ia hadir disaat yang tepat atau tidak. Sedangkan
menurut Khairudin dalam penjelasannya di study class Manajemen, factor yang
mempengaruhi kepemimpinan dapa dibagi menjadi dua yakni ;
a. Factor
internal.
Ø Kepribadian.
Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi
dengan individu lain. Kepribadian paling sering dideskripsikan dalam istilah
sifat yang bisa diukur yang ditunjukkan oleh seseorang.
b. Kemampuan
Intelektual.
Seorang pemimpin harus
memiliki kemampuan intelektual, emosional, dan keterampilan yang akan
menjadikan seorang pemimpin memiliki nilai tambah. Menurut Sekretaris Daerah
Prov Jatim, Dr H Rasiyo secara intelektual, pemimpin harus memiliki kemampuan
menganalisis permasalahan dan memecahkan permasalahan secara tepat. Sedangkan
secara emosional, pemimpin harus memiliki emosional yang tangguh, percaya
kepada orang lain, dan memiliki rasa percaya diri yang tinggi manakala
berhadapan dengan publik. Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan,
baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
2. Kepala
Vs Pemimpin
a. Pengertian
Kepala
Pengertian
kekepalaan mempunyai konotasi adanya kedudukan dalam hirarkhi organisasi, yang
di dalamnya terkandung tugas, wewenang dan tanggung jawab yang telah ditentukan
secara formal. Kekepalaan berkaitan dengan wewenang sah berdasarkan ketentuan
formal, untuk membawahi dan memberi perintah-perintah kepada kelompok
orang-orang “bawahan” tertentu dan dalam bidang masalah tertentu pula. Seorang
kepala unit
belum
tentu dapat menjadi leader. Demikian pula seorang leader belum tentu mempunyai
kedudukan sebagai kepala. Seorang yang tidak mempunyai pengaruh dapat saja
menjadi seorang kepala instansi, dan ia baru menjadi seorang leader kalau ia
mampu mempengaruhi orang lain. Oleh karena itu, pimpinan yang mengepalai suatu
organisasi atau salah satu unitnya harus menyadari bahwa kedudukan formal saja
belum tentu merubah perilaku anak buahnya sesuai dengan yang diharapkan agar
memudahkan dan melancarkan pencapaian tujuan organisasinya, atau mampu
menciptakan kerjasama yang baik antara bawahannya. Dari pengertian tentang
kepemimpinan tersebut di atas, jelas kepemimpinan itu tidak perlu terkait
dengan batasan-batasan dan ketentuan-ketentuan formal. Maka seseorang yang
melaksanakan kekepalaan mungkin belum dapat disebut sebagai orang pemimpin. la
sekaligus dapat disebut sebagai seorang pemimpin, apabila ia juga mampu
mempengaruhi bawahan sehingga mereka dengan penuh pengertian, kesadaran dan
senang hati bersedia mengikuti dan mentaati kehendak atau perintah-perintahnya.
b. Pengertian
Pemimpin.
Pemimpin
berasal dari kata asing leader dan kepemimpinan leadership, Kartono mengatakan
bahwa pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki superioritas tertentu,
sehingga dia memiliki kewibawaan dan kekuasaan untuk menggerakan orang lain
melakukan usaha bersama guna mencapai sasaran tertentu. sedangkan Kouzes
menjelaskan bahwa pemimpin adalah vionir sebagai orang yang bersedia melangkah
kedalam situasi yang tidak diketahui, pemimpin yang mempunya visi yang jelas
dapat menjadi penuntun dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
pemimpin. lain lagi dengan Rukmana yang mendefinisikan pemimpin sebagai orang
yang melakukan atau menjalankan kepemimpinan leadership sedangkan pimpinan
adalah mencerminkan kedudukan seseorang atau kelompok orang pada hierarki
tertentu dalam suatu birkrasi formal maupun informal.
Persamaan Kepala dan Pemimpin
Pada umumnya kata leadership
diterjemahkan sebagai Kepemimpinan. Leadership dapat ditafsirkan dalam dua
pengertian. Pertama, meliputi pengertian headship dan kedua, leadership
ditafsirkan berbeda dengan headship. Namun demikian ada beberapa persamaan
antara pemimpin dan kepala yaitu :
Ø Memiliki
tanggung jawab yang sama yaitu memimpin/mengepalai sebuah organisasi dengan
anggota organisasi atau orang orang yang memiliki tujuan yang sama.
Ø Memiliki
tugas yang sama yaitu untuk mencapai tujuan organisasi atau lembaga yang
dipimpinnya.
Ø Harus
memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar dapat bekerjasama
mencapai tujuan yang telah ditetapkan organisasi atau lembaga yang dipimpinnya.
Ø Sama
sama harus bekerja sama dengan orang lain atau pengikut untuk bersama sama
menjalankan roda orgaisasi.
Ø Sama
sama untuk melayani orang lain.
Ø Sama
sama harus memiliki visi kedepan baik kemajuan tentang lembaga atau organisasi
yang dipimpinya maupun tentang kemajuan pribadinya.
3. Peranan
seorang pemimpin
Secara
umum pemimpin dalam suatu organisasi adalah orang yang bertanggungjawab penuh
dalam menggerakkan akitivitas dan motivasi para anggota organisasi untuk
mencapai tujuan bersama. tugas menjadi seorang leadership memang tidak mudah.
Seorang leadership harus mampu berbicara tentang bagaimana seseorang dapat
mempengaruhi dan menginspirasi orang lain, bagaimana seseorang bisa membuat
orang lain mau belajar dan bekerja ekstra dengan ikhlas. Seorang leadership
juga bertanggung jawab dalam menciptakan visi organisasi, konsep bisnis,
rencana, serta program untuk mencapai target suatu organisasi. Leadership
bersifat kreatif, adaptif, dan melihat jauh ke depan serta melihat dari luar
organisasi, bukan hanya di permukaan atau di dalam organisasi. Di bawah ini
adalah Peran Penting jika kita menjadi seorang Leader, diantaranya :
1.
Menciptakan Visi
Seorang pemimpin
bertugas membuat visi bagi organisasinya. Visi adalah pernyataan tentang
cita-cita organisasi. Visi harus bisa menyatukan kepentingan yang berbeda-beda,
sehingga dapat memudahkan proses pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi.
Visi akan membantu pemimpin dan timnya dalam menghadapi tantangan perusahaan.
2.
Membangun Tim
Seorang pemimpin harus
dapat memilih orang-orang yang tepat untuk mengisi posisi yang tepat. Agar
tidak sampai salah memilih anggota tim, tidak ada salahnya jika pemimpin
meluangkan waktu untuk mewawancarai calon karyawan yang akan direkrutnya.
3.
Mengalokasikan Tugas
Pemimpin yang baik
mengenal anak buahnya dengan baik. Dia dapat menganalisa anggota timnya dan
menempatkan orang yang mampu pada posisi yang tepat sesuai dengan
kompetensinya. Pemimpin yang baik akan mengalokasikan tugas bagi anggota timnya
sesuai dengan keahlian dan passion mereka masing-masing.
4.
Mengembangkan Orang
Jaman telah berubah.
Dulu, banyak orang yang setia bekerja di satu tempat untuk waktu yang lama.
Tetapi sekarang, banyak orang tidak ragu untuk berpindah-pindah tempat kerja
karena merasa tidak bisa berkembang di suatu tempat. Mereka ingin belajar dan
menjadi lebih pintar. Seorang pemimpin harus memahami hal tersebut. Ia harus
bisa membaca potensi orang-orang yang dipimpinnya, serta mengembangkan
kemampuan dan value mereka.
5.
Memotivasi Anak Buah
Tim yang bersemangat
adalah kekuatan bagi organisasi yang sehat. Untuk menjaga semangat tim,
pemimpin harus dapat menginspirasi dan memotivasi anak buahnya. Tim yang kompak
dan bersemangat pasti mau bekerja keras dan berusaha maksimal demi mencapai target
dan kesuksesan organisasi.
Pendapat yang lain terkait dengan peran
seorang pemimpin diungkapkan oleh H.G.Hicks dan C.R Gullet dalam buku yang
berjudul Organization : Teory and Behaviors . keduanya berpendapat bahwa
peranan pemimpin yaitu bersikap adil, mendukung tercapainya tujuan, sebagai
katalisator, sebagai wakil organisasi, menciptakan keadaan aman, mau menghargai
dan sebagai sumber inspirasi.
4. Model-model
pengambilan keputusan
Ada
beberapa model dan teknik pengambilan keputusan :
1. Model Optimasi
Sasaran
yang ingin dicapai dengan model optimasi adalah bahwa dengan mempertimbangkan
keterbatasan yang ada, organisasi memperoleh hasil terbaik yang paling mungkin
dicapai. Sikap pengambil keputusan, norma-norma serta kebijaksanaan organisasi
berperan penting dalam menentukan kriteria apa yang dimaksud dengan hasil
terbaik yang mungkin dicapai itu.
Menurut
Rainey (1991) rasionalitas memiliki arti dan dimensi yang bermacam-macam,
tetapi dalam ilmu-ilmu sosial rasionalitas itu meliputi komponen-komponen
sebagai berikut: Para pembuat keputusan mengetahui secara jelas
tujuan-tujuannya secara relevan. Pembuat keputusan mengetahui dengan jelas
kriteria untuk menilai tujuan-tujuan itu dan dapat menyususn peringkat dari
tujuan-tujuan tersebut. Mereka memeriksa semua alternatif untuk mencapai tujuan
mereka.
Mereka memilih
alternatif yang paling efisien untuk memaksimalkan pencapaian tujuan.
Langkah-Langkah Dalam Model
Optimasi
Setiap
keputusan yang diambil itu merupakan perwujudan kebijakan yang telah
digariskan. Oleh karena itu, analisis proses pengambilan keputusan pada
hakikatnya sama saja dengan analisis proses kebijakan. Menurut Maulana (2010)
Proses pengambilan keputusan meliputi :
1. Lakukan kebutuhan akan suatu keputusan
2. Menentukan kriteria yang diputuskan
3. Menentukan kriteria yang berbobot
4. Mengembangkan alternatif
5. Menilai beberapa alternatif
6. Memilih alternatif
Menyusun
alternatif dengan memperhitungkan untung rugi untuk setiap alternatif dengan
mempertimbangkan/ memperhitungkan/ memperkirakan kemungkinan timbulnya macam
macam kejadian yang akan datang yang merupakan dampak dari kejadian terhadap
alternatif yang dirumuskan. Akan didapat keputusan optimal, karena setidaknya
telah memperhitungkan semua fakta yang berkaitan dengan keputusan tersebut
(memaksimalkan hasil keputusan).
2. Model
satisficing
Model
satisficing berarti pengambil keputusan memilih alternative solusi pertama yang
memenuhi criteria keputusan minimal. Dengan tidak berusaha untuk mengejar
seluruh alternative untuk mengidentifikasi solusi tunggal untuk memaksimalkan
pengembalian ekonomi, manajer akan memilih solusi pertama yang muncul untuk
memecahkan masalah, bahkan jika solusi yang lebih baik diperkirakan akan ada
kemudian. Pengambil keputusan tidak dapat menjustifikasi waktu dan pengorbanan
untuk mendapatkan kelengkapan informasi.[6] Masalah kompleks disederhanakan
(hanya mengambil inti masalahnya saja / bounded rationality) sampai pada
tingkat dimana pengambil keputusan siap menyelesaikannya.
Model
satisficing, para pengambil keputusan merasa cukup bangga dan puas apabila
keputusan yang diambilnya membuahkan hasil yang memadai, asalkan persyaratan
minimal tetap terpenuhi. Ide pokok dari model ini adalah bahwa usaha ditujukan
pada apa yang mungkin dilakukan “sekarang dan disini” dan bukan pada sesuatu
yang mungkin optimal tetapi tidak realistis dan oleh karenanya tidak mungkin
dicapai. Model ini terdapat dua keyakinan:
a. Ketidakmampuan
pengambil keputusan untuk menganilisis semua informasi.
b. Pada
tahap tertentu dalam proses pengambilan keputusan , timbul berbagai beban yang
tidak dapat dipikul dalam bentuk waktu, uang, tenaga, dan frustasi dalam usaha
memperoleh informasi tambahan.
3. Model Mixed Scanning
Scanning
berarti usaha mencari, mengumpulkan, memproses, menilai, dan menimbang-nimbang informasi
dalam kaitannya dengan menjatuhkan pilihan tertentu. Model mixed scanning
berarti bahwa setiap kali seorang pengambil keputusan mengahadapi dilemma dalam
memilih suatu langkah tertentu, satu keputusan pendahuluan harus dibuat tentang
sampai sejauh mana berbagai sarana dan prasarana organisasi akan digunakan
untuk mencari dan menilai berbagai fungsi dan kegiatan yang akan dilaksakan.
Para ahli berpendapat bahwa, dalam penggunaan model ini keputusan- keputusan
yang fundamental dibuat setelah terlebih dahulu melakukan pengkajian terhadap
berbagai alternatif yang paling relevan, yang kemudian dikaitkan dengan tujuan
dan sasaran organisasi. Unsur-unsur dari pendekatan yang rasional dan
incremental digabungkan, dan penggabungan ini dipandang dapat saling isi
mengisi, dalam arti kelebihan pendekatan yang rasional memperkuat kelebihan
pendekatan yang inkremental.
4. Model Heuritis
Pada
hakikatnya model ini berarti, bahwa faktor-faktor internal yang terdapat dalam
diri seseorang pengambil keputusan lebih berpengaruh dari pada faktor- faktor
eksternal. Dengan kata lain, seorang pengambil keputusan lebih mendasarkan
keputusannya pada konsep-konsep yang dimilikinya, berdasarkan persepsi sendiri
tentang situasi problematic yang dihadapi. Dalam praktek model ini digunakan
apabila para pengambil keputusan tidak tersedia kemampuan untuk melakukan
pendekatan yang matematikal atau apabila bagi pengambil keputusan tidak
tersedia kesempatan untuk memanfaatkan berbagai sumber oraganisasional untuk
melakukan pengkajian yang sifatnya kuantitatif.
5. Kepemimpinan
dalam Alkitab
GAYA
KEPEMIMPINAN RASUL PAULUS
Rasul
Paulus menuliskan surat-suratnya kepada kelompok-kelompok kecil orang yang
dikenalnya secara pribadi, yaitu Timotius, Titus, dan Filemon. Paulus juga
menulis surat-surat kepada kelompok-kelompok besar pembaca, seperti jemaat di
Roma, Korintus, dan Galatia. Surat-surat ini memberikan wawasan tentang mengapa
pemimpin itu ada. Dia juga menambahkan wawasan tentang pengetahuan, keahlian,
dan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan pemimpin-pemimpin saat ini.
Dalam
setiap surat, Paulus mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam hidup ini,
seperti dosa (Roma 3:9), iman (Roma 3:22), pernikahan (Roma 7:2; 1 Korintus 7),
kesatuan (1 Korintus 1:10), karunia-karunia rohani (1 Korintus 12), dan
kemerdekaan (Galatia 5:17). Dengan mempelajari surat-surat Paulus kepada Roma,
Korintus, Galatia, Tesalonika dan Filemon, kita akan melihat satu rangkaian
karakteristik yang dipandang Paulus penting dalam pertumbuhan para pemimpin
Kristen.
Ciri-ciri
kepemimpinan yang efektif tidak kalah ragam dan jumlahnya dengan pikiran dan
hati manusia sendiri. Tidak akan ada daftar yang paling lengkap, dan tidak ada
suatu daftar yang paling cocok untuk Anda. Kelima karakteristik berikut ini
juga tidak lengkap, namun kelima hal ini bisa menyampaikan kekuatan dan janji
yang ditawarkan oleh Paulus: rasa belas kasihan, kesadaran diri, kebenaran oleh
iman, komitmen, dan komunitas.
Belas Kasihan melalui Kesatuan
Rohani
Orang-orang
Kristen Yahudi di dekat Yerusalem berada di tepi jurang kelaparan. Paulus
menyebut mereka sebagai “orang-orang saleh yang miskin di Yerusalem” (Roma
15:26, versi KSI). Paulus mengumpulkan persembahan untuk orang miskin, dan ia
mendesak pertanggungjawaban orang Kristen untuk membantu mereka yang
membutuhkan. Dia mencari kesempatan bagi orang-orang Kristen non-Yahudi untuk
menjangkau dengan belas kasihan serta untuk menunjukkan kesatuan rohani. Paulus
tidak menggerakkan kegiatan amal massal melalui surat, tetapi dia menekankan
secara langsung adanya kebutuhan dana (Roma 15:25-26; 1 Korintus 16:1; 2
Korintus 8:1-9:15). Dalam 2 Korintus 9:6, dia memperluas seruannya ini sedikit
lebih jauh dengan menggambarkan upah-upah dari memberi — “Orang yang menabur
sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai
banyak juga.” Paulus menunjukkan bahwa kemurahan hati membawa keuntungan bagi
pemberi karena persembahan bisa berfungsi sebagai penyembahan kepada Tuhan dan
bisa menginspirasi iman orang lain.
Dalam
kepemimpinan yang berbelaskasihan, Anda bertindak untuk kepentingan para
pengikut, rekan, serta organisasi Anda. Para pekerja bersedia bekerja
semaksimal mungkin untuk pemimpin seperti ini. “Kesetiaan serta ketaatan kepada
tugas bertumbuh dari kepercayaan dan pengetahuan akan perlindungan yang datang
dari hubungan kerja.” (Winston, 2002). Para pekerja pun dapat merasakan
dukungan untuk mereka. Sebagai balasannya, mereka terdorong untuk memberikan
dukungan penuh mereka. Pemimpin seperti ini memampukan bawahan-bawahannya untuk
memberikan yang terbaik melalui teladan mereka.
Kesadaran Diri
Kepercayaan
diri dan kesadaran diri akan menguatkan pemimpin Kristen. “Pertama-tama
pemimpin perlu menciptakan kedamaian dalam kehidupannya sebelum dia berhasil
menciptakan kedamaian dalam organisasinya. Seorang pemimpin yang mempunyai
konflik dengan dirinya sendiri dapat diibaratkan seperti rumah tangga yang
terpecah-pecah.” (Winston, 2002, p. 82). Para pemimpin perlu bersedia
mempelajari nilai-nilai yang mereka anut dengan cermat serta cara mereka yang
bisa menggerakkan organisasi mereka menuju visi yang kukuh. Para pemimpin yang
efektif memimpin dengan sebuah tujuan, bukannya “berlari seperti orang yang
tanpa tujuan” (1 Korintus 9:26-27). Menurut pandangan Alkitab, hal ini
mengatakan bahwa kita hidup untuk tujuan-Nya, bukan tujuan kita. Sebagai
orang-orang Kristen, kita tahu bahwa kebutuhan kita akan Kristus akan membawa
kita melampaui kegagalan-kegagalan kita sehingga kita dapat bertumbuh semakin
efektif. Saat kita bertumbuh dalam Kristus, kita akan menyadari kegagalan dan
kekurangan kita sebagai manusia.
Dalam
Roma 14:1-2, Paulus mengingatkan kita bahwa orang-orang Kristen tidak perlu
saling setuju dalam segala hal berkenaan dengan kehidupan Kristen. Paulus
melanjutkannya dengan menjelaskan perbedaan antara orang Kristen yang kuat dan
lemah. Dalam usahanya untuk menjelaskan peranan kebhinekaan dalam keseluruhan
rencana Allah tentang penebusan, Paulus memberikan contoh bahwa pemahaman Injil
yang benar membuat orang Kristen yang kuat mengerti bahwa pola makanan tidak
memengaruhi kehidupan rohaninya. (Roma 14:2; Kolose 2:16).
Kebenaran oleh Iman
Paulus
menggunakan kata kerja Ibrani “dibenarkan” sebanyak 27 kali, sebagian besar
terdapat dalam kitab Roma dan Galatia. Istilah ini menggambarkan apa yang
terjadi ketika seseorang percaya kepada Kristus sebagai Juru Selamatnya. Paulus
menekankan dua ide yang berbeda. Pertama, tidak ada orang yang hidup menjalani
kehidupan yang sempurna, “Dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma
karena penebusan dalam Kristus Yesus.” (Roma 3:24). Kedua, walaupun kita semua
adalah orang berdosa, Allah akan menyatakan tidak bersalah kepada setiap orang
yang percaya kepada Yesus. Pemikiran pokok dalam konsep pembenaran adalah bahwa
walaupun kita layak dinyatakan bersalah (Roma 3:9-19), Allah menyatakan kita
benar karena iman kita di dalam Kristus. Dalam Galatia 2:16, Paulus menggunakan
kata kerja “dibenarkan” sebanyak tiga kali. Sebanyak tiga kali ayat ini
menyatakan bahwa tidak ada yang “dibenarkan” karena melakukan hukum; tiga kali
pula ayat ini menekankan persyaratan mutlak tentang dasar iman kita kepada
Kristus.
Komitmen untuk Bertumbuh
Pemimpin-pemimpin
Kristen percaya bahwa manusia memunyai nilai harkat yang melebihi kontribusi
nyata mereka sebagai pekerja. Oleh sebab itu, para pemimpin Kristen peduli
dengan pertumbuhan pribadi, pekerjaan, serta kerohanian setiap dan semua
individu dalam organisasi masing-masing. Setiap orang Kristen wajib menjadi
yang terbaik bagi Allah. Jika kepemimpinan dapat dikembangkan, kita perlu
mencari cara untuk mengembangkannya. Dengan melakukannya, kita menyiapkan diri
kita untuk pelayanan yang lebih besar yang mungkin ada di sekitar kita. Roma
12:1 (versi Ende) memberikan perintah kepada para pemimpin: “persembahkanlah
tubuhmu sebagai kurban hidup, suci dan berkenan pada Allah. Itulah ibadat
rohani yang sesuai dengan budimu.” Kata kerja “persembahkanlah” di sini diikuti
dengan 36 kata kerja yang menerangkan secara rinci apa yang terjadi jika kita
menaatinya. Yang utama, doronglah diri Anda sendiri untuk memimpin, “jika
karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. …; siapa yang memberi
pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; ….” (Roma 12:8) Ayat ini
merupakan panggilan untuk melangkah dalam kepemimpinan dengan sepenuh hati.
Nasihatilah orang-orang yang lainnya dengan ajakan yang membangun untuk meraih
pencapaian yang berfaedah.
Membangun Komunitas
1
Korintus 1:10-13 mengawali tema tentang kesatuan dalam pikiran dan tujuan.
“Perpecahan dalam komunitas mengkhianati tujuan dari penyaliban Kristus; yaitu
untuk menyatukan semua orang dalam satu tubuh, tubuh Kristus.” (Matera, 2001,
p.10). Para pemimpin perlu mencari jalan untuk membangun komunitas di antara
orang-orang yang bekerja dalam sebuah institusi. Maksud Paulus yang
sesungguhnya adalah satu tubuh yang bekerja bersama-sama menekankan kesatuan.
Akan tetapi, Paulus juga menggambarkan pelajaran-pelajaran yang dapat
dipelajari dari sebuah komunitas. “Andaikata semuanya adalah satu anggota, di
manakah tubuh? … mata tidak dapat berkata kepada tangan: ‘Aku tidak membutuhkan
engkau’….” (1 Korintus 12:19-21) Bisakah kita bertahan hidup tanpa tangan? Ya,
tetapi kita perlu menyesuaikan diri dengan tangan palsu kita atau menemukan
cara lain untuk mengambil barang-barang. Walaupun tubuh kita tidak akan lengkap
tanpa tangan, namun tubuh masih akan dapat bertahan. Namun sebaliknya, tangan
terkuat pun tidak akan berguna tanpa tubuh. Tangan-tangan memerlukan
sinyal-sinyal yang dikirim dari otak serta makanan yang diberikan oleh darah.
Intinya adalah tubuh bisa bertahan tanpa
tangan, sedangkan tangan tanpa tubuh adalah sesuatu yang tidak terpikirkan.
Gereja-gereja yang berbeda-beda seperti gereja Korintus menyadari
perbedaan-perbedaan di dalam gerejanya. Inilah sebabnya surat-surat Paulus
menekankan persoalan-persoalan tentang persatuan. Persoalan yang masih menjadi
penyakit gereja-gereja saat ini. Solusinya adalah menghormati satu sama lain
dan melaksanakan petunjuk Yesus Kristus, sebagai kepala.
6. Penerapan kepemimpinan Alkitabiah dalam pendidikan
Menarik Maknanya bagi Kepemimpinan
Kristen Masa Kini. Untuk mempelajari kepemimpinan Paulus dengan benar,
sesungguhnya dibutuhkan pendekatan inter-disipliner yang mengintegrasikan studi
kepemimpinan Paulus dalam surat-suratnya dengan studi kepemimpinan masa kini.
Jika kepemimpinan hanya dikembangkan dari praktek kontemporer, ada bahaya bahwa
praktek-praktek ini dijadikan standar kepemimpinan, dan timbullah kecenderungan
untuk mengesampingkan Alkitab dan berinovasi secara tidak alkitabiah.
Contohnya, kepemimpinan dalam teori sekuler mungkin hanya berfokus pada
aktivitas dan hasil kepemimpinan, namun melupakan aspek-aspek penting lainnya,
seperti misalnya Kristus sebagai sumber kekuatan kepemimpinan, tujuan kepemimpinan
sebagai bagian dari misi Allah, dst. Dilain pihak, adalah menyesatkan juga jika
kita mengabaikan teori kepemimpinan kontemporer yang empiris. Julian Ogereau
(2014) berargumentasi bahwa "secara metodologi merupakan sesuatu yang
masuk akal untuk sejak awal mengesampingkan setiap model teori modern."
Cara pandang seperti ini bersifat defensif dan destruktif bagi perkembangan
Kekristenan di dunia masa kini. Clement, seorang apologet dari Alexandria (220
M) percaya bahwa setiap ide filosofis yang kongruen dengan kekristenan harus
disatukan dengan teologi, bukan dibuang. Apalagi jika kita mengingat bahwa
segala kebenaran berasal dari sumber yang sama, yakni dari Tuhan Sang Pencipta.
Mengabaikan wahyu umum demi wahyu khusus adalah sama salahnya dengan mengabaikan
wahyu khusus demi wahyu umum. Suatu teologi dan praktek kepemimpinan yang
seimbang dan terintegrasi sangat dibutuhkan agar kita terhindar dari
kesombongan dan manipulasi (2 Kor 11:14). Kedelapan, diskusi teologis biblika
tentang kepemimpinan tidaklah cukup, harus dipraktekkan karena jika tidak, kita
tidak terhubung dengan realita dan praktek kepemimpinan di dunia masa kini.
Teori kepemimpinan yang benar bukan hanya harus berasal dari gagasan
alkitabiah, namun harus diintegrasikan dan dipraktekan. Teks dan konteks
biblikanya harus dipelajari dan dipraktekkan secara serius sehingga sanggup
untuk mentransformasi, bukan hanya diskusi. Karena itu, gaya kepemimpinan
Paulus memberikan makna bagi wacana kontemporer di dalam teori kepempinan
Kristen. Konteks skripturalnya harus diintegrasikan sampai makna dari teks
tidak hanya menunjukkan teori kepemimpinan kontemporer, tetapi juga berpotensi
untuk mentransformasi aplikasinya.
Paulus
dalam Kepemimpinannya
Dalam meneliti kepemimpinan Paulus, ada
beberapa aspek menarik yang dapat kita pelajari. Pertama, Paulus berfokus pada
karakter dan integritas seorang pemimpin. Paulus beserta para pengikutnya
berusaha mencontohkan hal ini. Bagi Paulus, pemimpin harus menjadi tuan bagi
dirinya dengan menunjukkan penguasaan atas nafsu, uang, anggur, atau
temperamen. Bahkan seorang pemimpin harus dapat menjadi anepileepton (seseorang
yang melampaui kekecewaan) agar dia tetap kuat dan tidak menjadi rapuh. Kedua,
Paulus menggunakan posisi dan otoritas kepemimpinannya secara efektif dan selektif
untuk memastikan kelangsungan hidup gereja. Ia menggambarkan dirinya sebagai
architekton (1 Kor 3:10) gereja. Ia adalah seorang pembangun yang ahli. Awalan
arche biasanya merujuk pada otoritas yang memerintah. Istilah lain yang
digunakannya adalah proistemi yang berarti "memimpin, mengarahkan,
memerintah" yang digunakan dalam konteks mempedulikan orang lain (1 Tes
5:12 dan 1 Kor 12:28). Ia juga menggunakan istilah pilot (kubernetes) untuk
merefleksikan fungsi dari seorang pemimpin. Paulus berfungsi sebagai pemimpin
ketika ia menggunakan posisi dan otoritasnya sebagai rasul untuk memengaruhi
dan mengarahkan gereja-gereja (Kol 1:1, 1 Tim 1:1, 2 Tim 1:1).
Ketiga, Paulus memandang gereja sebagai
konteks penting dari kepemimpinannya. Untuk menjelaskan tentang kepemimpinan
dalam konteks gereja, Paulus menggunakan paling tidak empat metafora yaitu
ekklesia, keluarga, bangunan dan tubuh. Dalam konsep ekklesia, semua pelayanan
dapat dilakukan oleh semua orang percaya. Semua anggota berfungsi sebagai
sesama pekerja untuk melayani satu sama lain dan untuk bekerja sama bagi
Kerajaan Allah. Paulus melihat para pemimpin setara dengan para anggota
lainnya, kecuali di dalam tugas-tugas khusus kepemimpinannya (1 Kor 3:6-7).
Dalam metafora keluarga, Paulus berfokus pada hubungan, kesatuan dan kasih.
Dalam metafora ini, gereja adalah suatu keluarga besar dengan pengalaman yang
konkrit dalam kebersamaan. Sementara itu, dalam metafora bangunan (gereja
sebagai rumah, bait, dan bangunan), seorang pemimpin meletakkan fondasi, namun
orang lain yang membangun di atasnya (walaupun Yesus tetap sebagai fondasi
utama). Dalam metafora mengenai tubuh, Paulus mengindikasikan adanya saling
kebergantungan di dalam gereja sehingga tidak ada satu orang pun yang superior
atau inferior dibanding yang lain.
Keempat, Paulus menegaskan kepemimpinan
sebagai hal yang utama dan baik bagi setiap orang Kristen. Meskipun
kepemimpinan bisa menjadi tempat berbahaya yang mengekspos seseorang pada kerja
keras, penganiayaan, dan bahkan kematian (contoh 2 Kor 6:4-10), Paulus
menganggap keinginan untuk menjadi pemimpin Kristen sebagai sesuatu yang mulia.
Jika ada orang yang tertarik pada posisi kepemimpinan (misalnya: jabatan
bishop), ia sebenarnya menginginkan hal-hal yang baik (1 Tim 3:1). Paulus tidak
bersikap negatif kepada posisi, jabatan dan otoritas kepemimpinan, karena dia
tahu bahwa yang terpenting pada akhirnya bukanlah posisi kepemimpinan,
melainkan panggilan Tuhan dan pelayanan diri yang berkorban.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Basyaib,
Fachmi,. 2006. Teori Pengambilan Keputusan.
Jakarta: PT Grasindo
2. Richard.
2003. Management (Manajemen). Jakarta:
Salemba Empat.
3. Siagian,
Sondang. 1990. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta: Haji Masagung.
Komentar
Posting Komentar