TEOLOGI KEARIFAN LOKAL (MARAPU)
ANama
: Dewi Karni Raya
Prodi
: PAK
Sem
: VII
M.K
: Teologi Kearifan Lokal
Dosen
: Stefanus Agus Budianto, M.Th
MARAPU
1. Pengantar
Sumba
merupakan salah satu bagian dari Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pada zaman
dahulu orang Sumba sering melaksanakan ritual-ritual keagamaan yang disebut
Hamayang (ritual doa, sembahyang). Ritual-ritual tersebut ditujukan kepada
roh-roh nenek moyang, karena orang Sumba percaya bahwa roh-roh nenek moyang
tersebut adalah pemelihara orang-orang yang masih hidup di dunia. Kepercayaan
terhadap roh-roh nenek moyang bagi orang Sumba disebut Marapu. Oleh karena itu,
seluruh bidang kehidupan orang Sumba dikaitkan dengan Marapu.
Sumba
yang sekarang ini terbagi-bagi dalam beberapa kabupaten seperti, Kabupaten
Sumba Barat Daya, Sumba Barat, Sumba Tengah, dan Sumba Timur.
2. Marapu sebagai Sistem Kepercayaan Asli
Orang sumba
a. Pengertian Marapu
Sumba
terdiri atas berbagai macam suku dengan bahasa yang berbeda-beda. Kepercayaan
asli orang Sumba disebut Marapu. Setiap suku mempunyai keprcayaan Marapu. Namun
ada banyak kesamaan pengertian, penyembahan, dan ritus-ritusnya di anatara
suku-suku tersebut. Di Sumba tidak ada kekuasaan yang sentral hanya ada
raja-raja kecil (suku) yang berkuasa atas sukunya.
L. Onvlee menyebut Marapu sebagai
“Yang Disembah dan Dihormati” karena Marapu berasal dari dua kata yaitu “Ma”
berarti ‘Yang’ dan rapu artinya ‘dihormati’, ‘disembah’, dan ‘didewakan’.
Marapu adalah sembahan orang Sumba. Penyembahan itu ditujukan kepada roh, arwah
orang mati, atau “Allah” (dewa Tertinggi). Segala sesuatu yang disembah disebut
Marapu. A.A. Yewangoe mengartikan Marapu sebagai “Yang Tersembunyi” jika kata
itu diambil dari kata “Ma” (yang) dan “rappu” (tersembunyi). Marapu juga
berarti “Serupa Nenek Moyang” bila kata Merapu diambil dari rangkaian kata
“Mera” (serupa) dan “appu” (neneki moyang).[3] Semua pengertian yang diambil
ini berkaitan erat dengan kebiasaan masyarakat Sumba. Melalui sajian orang
Sumba menggambarkan nenek moyang sebagai orang yang dekat dengan mereka,
pelindung, penghubung, dan pendoa.
b.
Jenis dan Susunan Marapu
Dalam
menghormati atau mendewakan Marapu ini anak cucu mewujudkan itu dalam berbagai
bentuk, ada yang berupa patung, ada yang berupa perhiasan atau mamuli, ada yang
berupa lamba (lambang bulan), dan (Tabilu) lambang matahari serta berbagai
binatang baik di darat maupun di laut serta tumbuh-tumbuhan. Benda-benda itu
disimpan di loteng paling atas dari rumah agar tidak mudah disentuh dan tempat
itu biasanya dianggap suci atau keramat. Benda-benda itu disebut Tanggu Marapu
atau bagian dari leluhur atau pusaka dan di dalam benda-benda itu bersemayam
roh para leluhur. Benda-benda tersebut menjadi perantara antara manusia dengan
Tuhannya.
Orang
Sumba mengenal Marapu dengan berbagai tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi
adalah Marapu Matoyo atau Marapu Bokol. Marapu ini menjadi alamat dari setiap
permohonan. Dia yang memutuskan apakah permohonan itu dikabulkan atau ditolak.
Ada yang menyebutkan bahwa Marapu ini beristirahat setelah penciptaan dan
menyerahkan penyelenggaraan alam semesta kepada bawahannya. Namun Ia tidak
tidur. Ia tetap memperhatikan manusia yang memohon kepadanya. Ia disebut
sebagai Di’bokol matana, mbelek rokatiluna (Ia yang bermata besar dan
bertelinga lebar), untuk mengungkapkan bahwa Marapu senantiasa memperhatikan dan
mendengar keluhan manusia.
Nama
Marapu Tertinggi sering kali tidak boleh disebutkan begitu saja namanya karena
Marapu itu adalah Ndappa teki tamo, ndappa numa ngara (tak boleh disebutkan namanya,
tak boleh digosipkan namanya). Ia diyakini sebagaii Pencipta alam semesta Bappa
amawolo, Inna amarawi. Karena tempatnya yang jauh, yakni di langit ke tujuh,
maka manusia tidak serta-merta dapat berkontak langsung dengan Dia. Demikianpun
Dia juga membutuhkan perantara untuk dapat kontak dengan manusia. Namun orang
Sumba percaya bahwa Marapu Tertinggi itu baik hati dan suka mengampuni orang
yang mau bertobat. Saat kematian tiba Dia akan menerima manusia.
Marapu
lain yang memiliki kedudukan yang tinggi dalam susunan upacara Marapu adalah
Marapu Mori Canna. Ia adalah Marapu yang menjaga dusun (atau kampong) dan juga
menjaga kebun. Ia disebut Mori Canna karena Dia dianggap sebagi Mori (tuan,
pemilik) dari Canna (tanah) yang sedang didiami. Dalam upacara yang berhubungan
dengan dusun atau kampong, Marapu ini harus diberikan sesajian berupa makanan.
Sedangkan untuk Marapu Mori Canna yang ada di kebun, Marapu diberikan
persembahan dalam bentuk hasil panenan. Hasil penenan itu digantungka pada
tiang persemahan yang terdapat di mesbah.[6]
Marapu
yang cukup dikenal dan diberi perhatian adalah Marapu To’ Mate (arwah
orang-orang yang meninggal). Orang Sumba percaya bahwa arwah orang yang
meninggal akan menjadi roh yang memberikan berkat bagi keturunannya atau kepada
sanak saudaranya. Dalam tradisi Sumba, seseorang sebelum meninggal biasanya
akan meninggalkan amanah untuk anak-anaknya atau sanak saudaranya berupa
berkat. Mereka percaya baghwa orang mati tetap hidup hanya berpinda tempat
saja. dari alamnya orang yang telah mati itu akan memperhatikan dan melindungi
keluarga yang masih hidup ( Enge totoko randanggumi, mono kopor gallunggumi).
Mereka menjadi penjaga karena mereka telah masuk ke dalam kumpulan Marapu,
yakni persekutuan hidup dengan semua orang yang telah meninggal.
Orang
Sumba juga percaya terhadap Marapu dalam bentuk roh-roh. Roh-roh ini akan
mendampingi manusia sesuai dengan permintaan manusia atau sesuai dengan wangsit
yang diterima oleh orang tertentu. Marapu dalam bentuk roh-roh ada yang
bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatitif. Yang positif akan
menghadirkan berkat bagi manusia berupa hasil panen yang melimpah, kekayaan,
kekebalan, dan masih banyak lagi. Roh-roh yang bersifat negatif akan hadir
dalam bentuk suanggi (toyo hamarango), yakni menyihir orang lain agar sakit
atau mati. Ada pula dalam bentuk roh penipu, roh perayu (yang merayu wanita),
dan lain-lain. Orang-orang yang hebat dalam hal tertentu diyakini pasti mempunyai
Marapu (na keteng marapu).
c.
Peringkat Roh dalam Marapu
Dewa
tertinggi dipandang berkelamin ganda. Dewa tersebut disapa sebagai ibu dan
bapak, dan keduanya bersama-sama menganugerahi berkah kesuburan dan
kesejahteraan yang merupakan tanggung jawabnya. Sang pencipta dikenal sebagai
Dia yang menenun dan membentuk kami (Amawolo Amarawi). Hal ini dikaitkan dengan
kegiatan wanita dalam memintal benang dan menyiapkan celupan serta kediatan
laki-laki dalam melebur logam. Orang Sumba percaya bahwa sosok ibu dan bapak
merupakan pemimpin kerajaan langit yang letaknya tujuh atau delapan tingkat di
atas bumi. Akan tetapi dalam upacara tradisional sosok ibu dan bapak jarang
dimintai pertolongan.
Dalam
kepercayaan orang Sumba benda yang “dimanusiakan“ dipakai untuk berhubungan
dengan roh dan leluhur khususnya yang berada di tingkat yang lebih rendah,
terdiri atas roh yang disapa berpasangan laki-laki dan Perempuan. Leluhur yang
menguasai kilat, misalnya, dipanggil bersama saudara perempuannya, Tila, yang
memegang jaring gaib untuk menjerat manusia dan hewan. Sosok lelaki yang
mengendalikan kekuatan langit, petir, halilintar, dan hujan deras. Sosok
Perempuan dikaitkan dengan bumi dan asal-usul padi, cacing laut, dan hasil
kebun.
Penutup
Masyarakat
Sumba secara umum, dalam sistem kepercayaan asli adalah pemujaan kepada nenek
moyang yang merupakan salah satu unsur kepercayaan lama yang dikenal dengan
istilah Marapu. Kepercayaan asli masyarakat tersebut, tercermin dari
beranekaragam bentuk dan manifestasi religiusitas, salah satu bentuknya adalah
kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang yang dianggap mempunyai kekuatan yang
berada diluar jiwa manusia. Walaupun masyarakat Sumba sudah menganut agama
nasrani, tetapi masyarakat masih dipengaruhi oleh adat istiadat setempat
seperti kepercayaan kepada Marapu yang disimbolkan kepada beberapa mahluk
kepercayaan disekitar lingkungan tempat tinggal.
Orang
Sumba mengelompokan diri dalam persekutuan marga (kabihu), kampung (paraingu)
dan kepercayaan (Marapu). Kehidupan dalam masyarakat dituntun oleh adat
istiadat dan tidak dapat dipisahkan dari kepercayaan. Seluruh kehidupannya,
sejak masih janin dalam rahim ibunya hingga meninggal, diwarnai oleh
kepercayaan kepada Marapu. Tidak ada satu bidang kehidupan pun yang tidak
diwarnai oleh adat istiadat dan kepercayaan ini. Kesejahteraan atau kemalangan
hidup ditentukan oleh taat tidaknya seseorang dalam pelaksanaan adat-istiadat.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Umbu Hina Kapita, Masyarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1976, hlm.35
[2]
Mateus Mali,, “ Sumba: Tanah Marapu” dalam Eddy Kristianto,(ed.), Spiritualitas
Dialog:Narasi Teologis tentang Kearifan Religius, Yogyakarta: Kanisisus. 2010,
hlm. 73
[3] F.D. Wellem, Injil dan Marapu. Suatu Dtudi
Historis-Teollogis tentang Perjumpaan Injil dengan Masyarakat Sumba pada
Periode 1876-1990. Jakarta: Gunung Mulia, 2004, hal. 46
[4]
James. J. Fox. Indonesian Heritage: Agama dan Upacara, Grolier International.
Inc.Jakarta: Jayakarta Offset. 2002,
hal. 90
[5]
Tabel ini diambil dari artikel “ Sumba: Kedatangan Marapu” yang termuat dalam.
Indonesian Heritage: Agama dan Upacara karya James. J. Fox.
[6]
Op. cit. Spiritualitas Dialog Narasi
Teologis tentang Kearifan Religius, hlm . 84-86
Komentar
Posting Komentar